Proses pembelajaran matematika yang lebih baik dan bermutu harus
segera diselenggarakan. Sudah bukan zamannya lagi matematika dianggap
sebagai sesuatu yang menakutkan bagi siswa di sekolah. Jika selama ini
matematika dianggap hanya sebagai ilmu abstrak, hanya teoritis, dan
kumpulan rumus-rumus,, maka sudah saatnya matematika dianggap sebagai
sesuatu yang penting dan dirindukan oleh siswa. Oleh karena itu, seorang
guru matematika harus mampu menghadirkan pembelajaran matematika yang
menyenangkan dan humanis.
Mengubah Paradigma Pembelajaran Matematika
Pada saat ini, di negara kita paradigma mengajar masih mendominasi
kegiatan pembelajaran matematika di sekolah. Siswa masih dianggap
sebagai obyek yang belum tahu apa-apa, kertas putih bersih yang harus
diisi tulisan oleh guru, atau gelas kosong yang harus diisi air.
Sebaliknya guru memposisikan diri sebagai manusia super yang mengetahui
segalanya dan satu-satunya sumber ilmu. Guru ceramah, menggurui, dan
otoritas tertinggi di kelas berada di tangan guru.
Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi atau lebih dikenal
dengan beban kurikulum diajarkan secara terpisah. Materi itupun
diberikan dalam bentuk jadi dari buku yang bahasanya menggunakan bahasa
orang pintar, sehingga dari segi bahasa pun siswa memahami kesulitan,
apalagi materinya. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
materi matematika sangat lemah dan tidak mendalam. Alhasil, prestasi
belajar matematika menjadi rendah.
Pengetahuan yang diterima secara pasif membuat matematika tidak
bermakna bagi siswa. Paradigma mengajar seperti ini harus segera
ditinggalkan di dalam kelas. Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar ketika berada dalam kelas. Hal ini sejalan dengan teori konstruktivisme.
Dalam teori konstruktivisme, siswa tidak lagi sebagai obyek tetapi
siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan lagi sebagai sesuatu
yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang harus diteliti,
dipikirkan, dan dikonstruksi oleh siswa. Dengan demikian siswa
sendirilah yang akan aktif belajar.
Hal ini menjadikan siswa harus aktif menemukan sendiri pengetahuan
yang ingin mereka miliki. Maka disini tugas guru tidak lagi sebagai
mentransfer ilmu kepada siswa, melainkan bagaimana menciptakan suasana
belajar dan merencanakan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa
aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk dimiliki oleh mereka sendiri.
Sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa.
Kegiatan pembelajaran matematika di sekolah akan berjalan efektif dan
bermakna bagi siswa jika proses pembelajarannya memperhatikan konteks
siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa meliputi latar belakang fisik,
keluarga, sosial, ekonomi, budaya, agama dan kenyataan-kenyataan hidup
lainnya. Pengertian-pengertian dan pemahaman-pemahaman yang dibawa siswa
ketika memulai kegiatan belajar, perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang
diyakini siswa juga merupakan konteks nyata. Konsekuensinya, untuk
mengubah pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktivisme atau
realistisme, pembelajaran matematika harus direncanakan dan dilakukan
sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan konteks dan keunikannya
memdapatkan kesempatan untuk mengkonstruksi kembali pengetahuannya
dengan strategi sendiri.
Dalam proses pembelajaran matematika, siswa sering kali mengalami
kesulitan dalam aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu
memberikan bantuan dan dorongan kepada siswa dalam proses pembelajaran.
Pemberian bantuan itu memungkinkan siswa memecahkan masalah,
melaksanakan tugas, atau mencapai sasaran yang tidak mungkin diusahakan
siswa sendiri. Bentuk bantuan dan dorongan bisa berbagai macam, tetapi
tujuannya untuk memastikan agar siswa mencapai sasaran yang berada di
luar jangkauan siswa. Bantuan dan dorongan yang diberikan misalnya
pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur penyelesaian tugas,
pemberitahuan tentang kekeliruan dalam prosedur penyelesaian,
mengarahkan siswa pada informasi tertentu, menawarkan langkah lain, dan
usaha menjaga agar rasa frustasi siswa terhadap tugas tetap berada pada
tingkat yang masih dapat ditanggung siswa. Dorongan menjadi pertanda
interaksi sosial antara siswa dan guru yang mendahului terjadinya
internalisasi pengetahuan, keterampilan, dan disposisi, serta menjadi
alat pembelajaran yang dapat mengurangi keambiguan sehingga meningkatkan
kesempatan siswa mengalami perkembangan